Aku malu sekali kalo ingat kejadian Senin sore itu, menjelang jam kerja di kantorku selesai. Bukan apa-apa, selama ini aku memang tabu untuk melampiaskan hasrat seksual ku dengan karyawan ku. Buat apadan toh aku bisa cari cewek yg lebih cakep di luaran sana. Tapi, kali ini, aku bener-bener harus melanggar prinsip tabu ku itu. Kejadian bermula ketika aku meminta Ira untuk memprint out hasil ketikanku. Saat itu cuma tinggal aku dan Ira di dalam kantor. Sementara karyawan lainnya sudah bersiap-siap pulang, mereka bergerombol di teras kantor yang terlihat dari meja kerjaku. "Ira, bantuin nge-print ya. Neh, langsung aja dari notebook saya," kataku lewat telpon. "Siapp.. Pak Iman," jawab karyawatiku, dengan suara yang agak kesal. Aku diam saja. Tak berapa lama Ira masuk ke ruanganku. Aku beranjak dari kursiku. Di luar jendela kulihat Bu Ismi, Mbak Tari, Koko, Iwan, dan beberapa karyawan lainnya sedang bersantai sembari makan bakso langganan kantor. Kantor kami berada di sebuah rumah, yang bertetangga dengan tempat jualan bakso. "Sebentar saja kok Ir. Tolong diatur margin kiri dan kanannya. Itu buat dijilid nantinya," kataku. "Beres pak," kata Ira. Lima menit berlalu, mesin printer belum juga mengeluarkan hasil cetakannya. Aku perhatikan Ira, tampaknya dia masih belum selesai mengutak-atik file yang akan diketik. Ira gadis yang selalu berpakaian sopan. Tapi kali ini, belahan dadanya agak terbuka. Sengaja atau tidak, aku gak tahu. Diam-diam kuperhatikan, bibirnya yang tebal itu tampak mengatup, agak digigit gigit. "Pak, ini ada yg salah ketik. Mau dibetulindan" "Yang manadan" tanyaku sembari mendekati IRa. Kulihat kulit tangannya yang halus. Putih, dan sedikit berbulu. Kuku di jarinya tampak sengaja dipelihara. Saat aku mendekat, IRa tidak bergeser sedikitpun. Bahkan ketika posisiku semakin dekat, siku tangannya berusaha bertahan. Kudekatkan wajahku ke notebook, dan posisi kon***ku semakin dekat dengan siku tanganya. "Oh, yang itu. Ya kamu betulin deh," kataku. Ira agak rikuh. Ia lantas mengetikkan. Tapi siku tangannya kok malah nyaris berusaha mengenai kon***ku. Aku meliriknya. Ira tak berani menatap. Makin kurapatkan posisi, sehingga kon***ku terasa menempel dengan meja, dan sempat tersentuh sikut tangannya. "Mmm.. maaf pak, gak ke save barusan. Agak lama neh," kata Ira, suaranya grogi. Aku lantas menarik diri. Uh. Kuberbalik badan. Membakar rokok, sembari menengok ke jendela. Sebagian karyawan sudah pulang. Hanya terlihat mbak Tari. Aku mengetuk jendela, memberi isyarat, "belum dijemputdan" Mbak Tari mengangguk. Sementara Ira, kulihat rambutnya mulai digaruk-garukkan. Aku hampiri dia lagi. Tadi sengaja aku berbalik badan, karena malu kalo ketahuan kon***ku sempat mengencang. "oke pak,siap. Saya print ya," kata Ira. Beberapa lembar kertas keluar dari printer yang berjarak satu meja dari tempat duduk Ira. Aku mengambilnya, sembari memeriksa. Lalu kuhampiri Ira yang masih duduk di depan notebook. Kuperhatikan kok Ira seperti sedang meng-googling- sesuatu. Buru-buru dia mematikan window yang tadi kulihat terbuka. "Ir, kayaknya perlu diulang yang halaman 2. Hurufnya di-bold di bagian ini," kataku. Ira menatapku. Pandangan kami beradu. Aku heran, tatapan gadis ini kok agak lain, seperti tatapan seorang gadis menggoda. Aku dekati dia. Ira lantas menunduk, mengalihkan pandangan ke monitor. Dari tempat ku berdiri, belahan dadanya yang membusung, tampak sedikit terbuka. Teteknya besar juga neh bocah, kataku dalam hati. Kulitnya yang putih, dengan blazer hitam dan rambutnya yang tergerai panjang, membuatku ser-seran. Ah, persetan dengan tabu. Mulailah muncul naluri ku untuk sedikit having fun dengan karyawatiku yang baru lulus S-1 ini. Aku lantas mencari akal, bagaimana supaya hal ini terjadi karena ketidaksengajaan. Saat Ira meng- edit file, aku pura-pura memperhatikan layar. Padahal, posisi tubuhku yang agak membungkuk dari sisi kanannya, kepingin menggesekkan kon***ku ke siku tangannya. Ketika aku semakin mendekat, posisi duduk Ira yang tadinya rileks, menjadi tegang. Kedua kakinya dirapatkan. Dia mengenakan celana panjang hitam yang stretch. Suasana hening. Mungkin agak mencekam, bagi Ira. Tanganku lantas meraih kursor, "coba yang itu tuh, diganti deh fontnya di- bold," kataku berpura-pura serius. Posisiku dan IRa sudah semakin dekat. Kon***ku pelan-pelan mengeras. Ah, kepalang tanggung deh. Aku pun menempelkan bagian yang paling disukai cewek2 ini ke lengannya Ira yang sedang mengetik. Ira kelihatannya gak keberatan. Dia malah menoel-noel. Tanpa berlama- lama lagi, aku lantas berinisiatip untuk menciumnya. Ira kaget. "Pak.." katanya. Kuremas jari-jemarinya. Ira tak menepis. Kulanjutkan aksiku, dengan memeluknya. Dengan sekali gerakan, kucium bagian belakang telinganya. "Hmm..geli pak," katanya, bergetar. Ira lantas menurunkan tangannya yang sedari tadi tak lepas dari notebook ku. Duduknya mulai gelisah. Aku kian terangsang, dan mulai menjilati telinganya. Ira menggelinjang. Aku lantas memeluk bagian belakang tubuhnya. "Uhh.." desahnya. Kuciumi tengkuknya. Jilatan2lidahku membuatnya tak lagi sadar bahwa aku pimpinannya. Jari- jariku pun mulai menyusuri belahan dadanya. Kuremas teteknya. Ira makin mendesah. Ahh.... ufffhhhh... Kubuka kancing blazernya. Tanpa perlawanan sama sekali. Kon***ku yang sudah mengeras kukeluarkan, lalu ku gesek2kan diantara belahan dada Ira. "Uhhh..hmmm..." Ira mendesah sembari menggigit-gigitkan bibirnya. Matanya terpejam. Dia sangat menikmati sore yang indah ini. Sementara di luar jendela, kulihat Mba Tari masih ada. Dia tak melihat kami. Atau dia melihat, tapi pura-pura tak melihatdan Ah, persetan, pikirku. Aku lantas memeloroti celana ku, sementara kemeja dan dasiku kubiarkan tetap rapi. Sedangkan IRa, kedua pahanya dirapatkan. Aku lantas menarik retsleting celananya. Posisinya masih duduk, sementara aku setengah berdiri. Kami benar2 sudah horny berat. Ira yang selama ini kukenal alim, rupanya sama saja. Asal tersentuh daerah sensitifnya dengan lidah, cewek alim manapun pasti akan pasrah. "Isap Ir, enak erghh.. " "Uhh.." Zleppp..batang kon***ku sudah dikulumnya. Wow, sedotan demi sedotan di kuncup batang kon***lalu lidahnya bermain-main,membuatku semakin tak berpikir lagi menjaga imej diriku di kantor. Ira pun cuek saja. Yang ada dalam pikiran kami saat itu adalah kenikmatan dan kenikmatan. Meskipun usiaku dengan IRa terpaut sekitar 15 tahun, namun kenikmatan yang kami rasakan sama saja..sama- sama nikmat... Puas mengulum batang penisku, Ira kemudian mengulum buah zakar ku. Ohhhhh...urhhh..Iraa..ahhh.."kontolku enak ya, trus Ra, terussss.. nanti memekmu aku lahap juga.." Ira semakin bergairah mendengar racauanku yang penuh dengan kata- kata vulgar seperti "******", "memek"..."ngentott".. "Ir...aku kepengen ******* memekmu Ir, ayo Ir kita puaskan sekarang juga.." "Orrghhh...Acchhhh...hmmm.." Aku lantas mengambil posisi doggy style. Ira menungging, tangannya memegang bibir meja... Bokongnya sangat seksi, dari belahan bokongnya terlihat lubang anusnya yang mungil dan rapat sekali..sementara memeknya sudah basah.. Kutancapkan kontolku dari belakang.."ahhhhhhh..." ira meringkik.."****** kamu enak Iman.." Terus Iman..entot aku Man," kata Ira yang tak lagi memanggilku "Pak". "Auhhh..ahhh.enggghhh..ahhhhh..ngentottttt..." "Enak kan ngentott dengan aku Ir..auw ..'' Selagi aku dan Ira sibuk menggenjot, tiba-tiba telpon berdering..tut..tut.tut..tut.. "Cuekin aja Man, entot gw aja..biarin ajaaa..terusin Man..Imannnn....ahhh.." Kucabut batang kemaluanku dari vagina Ira. Aku menghampiri telpon wireless di mejaku. "Halo. Ya, selamat sore Ibu.." Ira menatapku penuh pengharapan. "Oh, maaf kami sudah selesai jam kantor. Tangannya masuk ke vaginannya sendiri. "Besok pagi staf saya akan menghubungi Ibu..O, ya,ya... Ibu Linda. Selamat sore." Aku kembali melanjutkan permaianan. Meski hanya sekali saja kami lakukan, tapi Ira dan aku sama-sama mencapai klimaks. Tubuh kami berkeringat persis orang habis jogging. "Ira, maafkan saya. Hmm..." kataku, setelah kami merapikan pakaian masing-masing. "Oh, saya yang harusnya minta maaf pak Iman. Kok ya jadinya begini." "Ah gak papa. Cuma cukup kali ini aja kita lakukan di sini. Kalau kita masih penasaran, kita keluar kantor ya, sayang.." kataku. Waktu sudah menuju pukul 6. Kami lantas pulang sendiri-sendiri. Aku tak tahu pasti apakah permainan singkat itu dilihat Mbak Tari, ataukah cuma kami berdua yang tahu. Esoknya, Ira tak menunjukkan gelagat yang mencurigakan di depan karyawan peruashaanku. Aku puas. Tapi, aku rada khawatir. Jangan- jangan, Mbak Tari melihat kami. Bukan apa-apa,Mbak Tari adalah karyawan teladan yang selama ini kuandalkan dalam menjalankan perusahaan kami. Kalo dia tahu, bisa-bisa dia tak lagi respek terhadapku.